Langsung ke konten utama

Unggulan

Ilmu Aqidah

Penulis: Ramli, S.Ag., M.H

Buku ini membahas secara detail tentang peranan penting ‘aqidah dalam membina manusia di berbagai sisi dan dimensi kehidupan dalam poin-poin berikut:

1.        Dalam Sisi Pemikiran

‘Aqidah menganggap manusia sebagai makhluk yang terhormat. Adapun kesalahan yang terkadang menimpa manusia, adalah satu hal yang biasa dan bisa diantisipasi dengan taubat. Atas dasar ini, ‘aqidah meyakinkannya bahwa ia mampu untuk meningkatkan diri dan tidak membuatnya putus asa dari rahmat Allah dan ampunan-Nya. ‘Aqidah tetah berhasil memerdekakan manusia dari penindasan politik para penguasa zalim dan membebaskannya dari tradisi menuhankan manusia lain.

‘Aqidah juga memberikan kebebasan penuh kepadanya. Namun ia membatasi kebebasan itu dengan hukum-hukum syariat, penghambaan kepada Allah supaya hal itu tidak menimbulkan kekacauan. ‘Aqidah juga memerintahkan akal untuk meneliti dan merenungkan dengan teliti untuk menyimpulkan sebuah Ushuluddin dan melarangnya untuk bertaklid dalam hal itu.

2.        Dalam Sisi Sosial

‘Aqidah telah berhasil melakukan perombakan besar dalam sisi ini. Di saat masyarakat Jahiliah hanya mementingkan diri mereka dan kemaslahatannya, dengan mengenal ‘aqidah, mereka rela mengorbankan segala yang mereka miliki demi agama dan kepentingan sosial. ‘Aqidah telah berhasil menghancurkan tembok pemisah yang memisahkan antara ketamakan manusia akan kemaslahatan-kemaslahatan pribadinya dan jiwa berkorban demi kemaslahatan umum dengan cara menumbuhkan rasa peduli sosial dalam diri setiap individu.

‘Aqidah telah berhasil menumbuhkan rasa peduli sosial ini dalam diri setiap individu dengan cara-cara berikut: Menumbuhkan rasa ikut bertanggung jawab terhadap kepentingan orang lain, menanamkan jiwa berkorban dan mengutamakan orang lain dan mendorong setiap individu muslim untuk hidup bersama.

3.        Dalam Sisi Kejiwaan

‘Aqidah dapat mewujudkan ketenangan dan ketentraman bagi manusia meskipun bencana sedang menimpa.’ Dalam hal ini ‘aqidah telah menggunakan berbagai cara dan metode untuk meringankan bencana-bencana itu di mata manusia. Di antara cara­cara tersebut adalah menjelaskan kriteria dunia; bahwa dunia ini adalah tempat derita dan ujian yang penuh dengan bencana dan derita yang acap kali menimpa manusia. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi manusia untuk rnencari kesenangan dan ketentraman di dunia ini.

Atas dasar ini, hendaknya ia berusaha sekuat tenaga demi meraih kesuksesan dalam ujian Allah di dunia. Dan di antara cara-cara tersebut adalah ‘aqidah menegaskan bahwa setiap musibah pasti membuahkan pahala, dan menyadarkan manusia bahwa musibah terbesar yang adalah musibah yang menimpa agama.

Begitu juga ‘aqidah memotivasi manusia untuk mengenal dirinya. Karena tanpa itu, sulit baginya untuk dapat menguasai jiwa dan mengekangnya, dan tidak mungkin baginya dapat mengenal Allah secara sempurna. Dari pembahasan-pembahasan di atas, dapat kita disimpulkan bahwa penyakit-penyakit jiwa yang berbahaya seperti fanatisme, rakus dan egoisme jika tidak diobati, akan menimbulkan akibat-akibat sosial dan potitik yang berbahaya, seperti fitnah yang pernah menimpa muslimin di Saqifah, sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Ali as.

4.        Dalam sisi Akhlak

‘Aqidah memiliki peranan yang besar dalam membina akhlak setiap individu muslim sesuai dengan prinsip-prinsip agama yang pahala dan siksa disesuaikan dengannya, dan bukan hanya sekedar wejangan yang tidak menuntut tanggung jawab. Lain halnya dengan aliran-aliran pernikiran hasil rekayasa manusia biasa yang memusnahkan perasaan diawasi oleh Allah dalam setiap gerak dan rasa tanggung jawab di hadapan-Nya. Dengan demikian, musnahlah tuntunan-tuntunan akhlak dan kehihupan manusia. Karena akhlak tanpa iman tidak akan pernah teraktualkan dalam kehidupan sehari-hari.

Demi mendorong masyarakat berakhlak terpuji dan meninggalkan akhlak yang tidak mulia, ‘aqidah mengikuti bermacam-macam metode dalam hal ini:

Pertama, menjelaskan efek-efek uhkrawi dan duniawi dari akhlak yang terpuji dan tidak terpuji.

Kedua, memperlihatkan dan yang baik kepada mereka dengan tujuan agar mereka terpengaruh oleh akhlaknya yang mulia dan mengikuti langkahnya

Tema lain yang dibahas berkenaan dengan “Sejarah Perkembangan Aliran-aliran Tauhid”, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa:

1.        Ilmu tauhid mengalami perubahan dari masa ke masa yaitu, pada masa Nabi belum terjadi konflik karena setiap ada masalah selalu langsung disandarkan kepada Nabi, pada masa Khulafa’urrasidin, awal terjadinya kekacauan pada masa Khalifah ke-3, yaitu pada masa pemerintahan Usman bin Affan, tauhid pada masa daulah Umayyah adanya ajaran non Islam yang masuk ke ajaran Islam yang dibawa oleh muallaf yang belum kuat imannya. Pada masa Abbasiyah, muncul polemik-polemik menyerang paham yang dianggap bertentangan, sehingga mulai muncul aliran-aliran dan yang terakhir masa paska Abbasiyah, muncul golongan Asy’ariyah yang sedikit mendapat tantangan.

2.        Awal mula munculnya masalah teologi dalam Islam memang fakta sejarah menunjukkan, persoalan pertama yang muncul di kalangan umat Islam yang menyebabkan kaum muslimin terpecah ke dalam beberapa firqah (kelompok/golongan) adalah persoalan politik.

Kajian tentang Akal sebagai daya pikir manusia untuk memahami sesuatu juga dibahas secara rinci, persoalan akal ini juga punya korelasi kuat tentang aqidah umat manusia itu sendiri, di mana akal yang di dalamnya terdapat kemungkinan bahwa pemahaman yang didapat oleh akal bisa salah juga bisa benar. Wahyu adalah firman Allah yang disampaikan kepada Nabi-Nya baik untuk dirinya sendiri maupun untuk disampaikan kepada umat. Pengetahuan adalah hubungan subjek dan objek, sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang telah teruji secara ilmiah dan kebenarannya jelas.

Akal dan wahyu digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi umat manusia. Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat bertemu dan bahkan saling berinteraksi dan terdapat ruang dimana keduanya harus berpisah. Pada saat wahyu merekomendasikan berkembangnya sains dan lestarinya budaya dengan memberikan ruang kebebasan untuk akal agar berpikir dengan dinamis, kreatif dan terbuka, disanalah terdapat ruang bertemu antara akal dan wahyu. Sehingga hubungan antara akal dan wahyu tidak bertentangan akan tetapi sangat berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, bahkan kedua-duanya saling menyempurnakan.

Selanjutnya sisi pembahasan yang juga tidak bisa dipisahkan dengan perihal aqidah yaitu ketika kita berbicara tentang hukum syara'. Secara garis besar, hukum syara’ adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh satu Negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.

Perbedaan perselisihan dikalangan dua kelompok antara ahli ushul fiqh dan ahli fiqh terlihat pada sisi dan arah pandangan. Ushul fiqh yang memiliki fungsinya adallah mengeluarkan hukum dari dalil memandangnya dari segi nash syara’ yang harus dirumuskan menjadi hukum yang terinci. Sedangkan ahli fiqh yang fungsinya menjelaskan hukum yang dirumuskan dari dalil memandang dari segi ketentuan syara’ yang sudah terinci. Hukum yang termasuk dalam hukum syara’ adalah sebagai berikut:

1.   Hukum taklifi yaitu titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan. Dengan demikian hukum taklifi ada lima macam yaitu : wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.

2.   Hukum wadhi’ yaitu titah Allah yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur perbuatan mukallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu sendiri, seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya waktu dzuhur.

Ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, shah, batal, ataupun fasid.

Oleh sebab itu, saat kita berbicara tentang Iman, maka pada intinya kita sudah bicara tentang satu pengakuan yang diucapkan dalam hati dan lisan serta bersedia melakukan yang dibenarkannya melalui amal hati serta patuh kepada hukum syara' yang digariskan oleh Allah dan Rasulullah. Sebagaimana kita ketahui dalam agama Islam memiliki Rukun Iman yakni beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan beriman kepada qadla’ dan qadar (ketentuan). Seorang muslim yang beriman kepada Allah adalah yang membenarkan adanya Tuhan Yang Maha Agung Tuhan Maha Pencipta langit dan bumi. Dia mengetahui alam gaib dan alam nyata, Maha Pengatur, raja segala sesuatu. Tiada Tuhan melainkan Dia. Dialah Yang Maha Agung, Yang memiliki sifat-sifat maha sempurna. Untuk pertama kalinya kita mendapat petunjuk dari petunjuk-Nya. Iman kepada Allah adalah salah asas dan inti kaidah Islamiyah.

Tingkatan mengimani Allah (tauhid) yaitu ada lima tingkatan, yaitu:

1.        Taqlid

2.        Ilmu yang dimiliki

3.        Selalu diawasi oleh Allah

4.        Melihat Allah dengan mata hati

5.        Semuanya hanya untuk Allah (Zuhud).

 


Komentar

Postingan Populer