Langsung ke konten utama

Unggulan

DIGITALISASI ZIS: Pengelolaan dan Pelaporan ZIS di Era Industri 4.0 pada OPZ dalam Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Kalimantan Barat




Penulis: Verdianti, Rahmah Yulisa Kalbarini, Nur Atiqah, Nurzakiah

Editor: Pratiwi Kurniati


Teknologi digital dan internet tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sebagian besar penduduk dunia, dari aktivitas belajar, bekerja, belanja, bersosial dan mencari informasi. Begitupun di Indonesia, pengguna internet telah mencapai lebih dari 60% dari total keseluruhan penduduk. Penggunaan internet yang signifikan ini juga sejalan dengan transaksi pembayaran digital yang mengalami peningkatan, terlebih pada masa kebiasaan baru (new normal) dan pandemi covid-19 beberapa waktu kemarin.

Pada masa pandemi dan new normal, hampir seluruh aktivitas dilakukan dengan cara digital atau online karena adanya keterbatasan dalam melakukan interaksi sosial dengan masyarakat. Hal ini pun berdampak dalam pembayaran zakat, yang mana saat ini e-zakat sangat dibutuhkan. E-zakat merupakan zakat yang sudah berbasis online guna meningkatkan efisiensi untuk pengumpulan zakat dan dengan tujuan mempermudah muzakki membayar zakat di masa pandemi.

Di saat pandemi covid-19 beberapa waktu lalu, Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) berusaha memanfaatkan digitalisasi dalam pengelolaan dana zakat secara menyeluruh melalui optimalisasi berbagai akses digital untuk menarik muzakki, dengan beberapa cara di antaranya dikembangkan platform yang berbasis web dan mobile app yang terintegrasi, serta kolaborasi dengan digital platform social dan komersial lain, dan bekerja sama dengan fintech. Penghimpunan dana zakat berbasis online dirancang agar dapat mengefektifkan dan mengefisienkan pengumpulan dana zakat yang dilakukan oleh OPZ karena memiliki sistem fintech yaitu kolaborasi keuangan dengan teknologi digital. Hal ini pun memiliki potensi untuk meningkatkan penghimpunan dana zakat. 

OPZ mengadakan transformasi digital dalam rangka meningkatkan dana ziswaf. Transformasi digital dilaksanakan mulai dari menyediakan aplikasi untuk memperluas jangkauan, memberikan layanan penghimpun ziswaf, serta distribusi dana ziswaf ke mustahik.

Meningkatnya penggunaan teknologi dalam setiap lini kehidupan menunjukkan jika kebutuhan manusia pada teknologi sangat tinggi. Tak terkecuali dalam melakukan aktivitas transaksi ekonomi untuk kebutuhan sehari-hari, dengan hadirnya fintech dapat dijadikan solusi untuk dapat bertransaksi dengan mudah. Pergeseran terhadap teknologi digital ini juga menyentuh aspek manajemen zakat, khusus pada pengumpulan zakat. Keberadaan teknologi fintech, tentu saja muzakki menjadi lebih mudah dalam melakukan pembayaran zakat karena dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja. 

Menanggapi fenomena ini, tentu saja lembaga amil zakat berupaya untuk melakukan inovasi digitalisasi zakat dalam pengumpulan zakat, karena diyakini perubahan tersebut mampu mendongrak penerimaan zakat (Abdelkader,O. Ahmed., 2017). Terlebih lagi, digital zakat menjadi solusi pada masa pandemi, para muzakki tidak perlu tatap muka dengan mustahik atau pergi ke lokasi lembaga amil zakat untuk menunaikan pembayaran zakatnya, akan tetapi cukup melakukan pembayaran secara digital, muzakki telah melaksanakan kewajiban yang diwajikan oleh agama sekaligus juga telah menuruti anjuran pemerintah untuk tetap stay di rumah.

Selama hampir dua dekade, sejak dibentuknya lembaga Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) oleh pemerinta, potensi zakat yang sangat besar di Indonesia belum tercapai secara optimal. Efisiensi dan efektifitas layanan pengelolaan zakat sebagaimana yang termaktub dalam UU No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, maka tentunya saja lembaga amil zakat harus memiliki kepercayaan yang tinggi dari masyarakat, agar masyarakat mau membayar zakatnya langsung melalui lembaga zakat yang resmi. 

Kepercayaan muzakki untuk menyalurkan zakatnya pada lembaga amil zakat merupakan kunci dalam mencapai realisasi zakat, namun realitanya di masyarakat menunjukkan masi ada masyarakat yang belum memiliki tingkat kepercayaan tinggi kepada lembaga amil dikarenakan faktor kurangnya transparansi (Aprizal, 2015). Untuk itu, transparansi di lembaga amil zakat menjadi sangat penting guna mewujudkan keterbukaan informasi untuk dapat menumbukan trust masyarakat.

Agus Dwiyanto dalam Yuliafitri, Indri dan Asma Nur, (2016) mendefinisikan transparansi sebagai penyediaan informasi tentang pemerintahan bagi publik dan dijaminnya adalah kemudahan dalam memperoleh informasi yang memadai dan akurat. Dari pengertian tersebut diperoleh pemahaman bahwa transparansi tidak hanya sekadar menyediakan informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, namun perlu disertai dengan kemudahan masyarakat dalam memperoleh informasi tersebut. Dan menurut M. Daniyal, et al (2021) faktor yang secara signifikan dapat mempengaruhi kaum milenial untuk membayar zakat secara digital adalah tingkat kenyamanan, persepsi dan kepercayaan, sedangkan pengetahuan dan motivasi tidak berpengaruh signifikan. Hal ini mengindikasikan jika lembaga amil zakat harus secara kreatif menciptakan aplikasi yang sesuai dengan kebutuhan kaum milenial tersebut. 

Era industri 4.0 ini, banyak berkembang aplikasi yang biasa kita gunakan, mulai dari memesan makanan membayar tagihan, transportasi, berbelanja, hingga jasa pengiriman. Dan beberapa media e-commerce yang biasa digunakan antara lain internet, world wide web, serta aplikasi lainnya yang terdapat di browser perangkat seluler (smartphone) untuk digunakan sebagai alat untuk bertransaksi. Platform-platform mobile merupakan pengembangan terkini dalam prasarana internet dari berbagai perangkat smartphone/mobile/tablet melalui koneksi internet (Uswatun Hasanah, 2021). 

Yang tak kalah pentingnya, bayar zakat kini menjadi lebih mudah dengan adanya sistem online melalui situs lembaga zakat atau aplikasi berbasis mobile. Platform-platform tersebut bekerjasama antara perusahan fintech dengan OPZ dalam penerimaan dan penyaluran dana zakat yang telah terkumpul. Terdapat beberapa contoh aplikasi belanja online dan dompet digital yang bisa digunakan untuk pembayaran zakat, antara lain: 

1) Link Aja, memiliki fitur LinkAja Berbagi yang bekerja sama dengan beberapa OPZ yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), ACT, Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat dalam penyaluran donasi, zakat dan sedekah; 

2) Gojek, sebagai salah satu karya anak bangsa terus melakukan inovasi demi memberikan pelayanan terbaik bagi penggunanya. Kini, bukan hanya menjadi aplikasi yang menyediakan jasa transportasi, pengiriman, perbelanjaan online saja, Gojek juga mengambil peran dalam menyalurkan zakat dengan meluncurkan fitur GoGive. 

3) Dompet digital DANA yang bekerja sama dengan Dompet Dhuafa untuk pembayaran zakat. Dan terdapat beberapa LAZ resmi yang tersedia yang bisa dipilih untuk berzakat seperti Dompet Dhuafa, Yayasan Rumpun Anak Pesisir, Griya Yatim, Rumah Zakat, Lazismu, Kitabisa.com, dan Dhuafa. Di aplikasi Tokopedia juga memberikan fitur perhitungan zakat, sehingga pengguna dapat mengetahui jumlah nominal zakat yang harus dibayarkan. Untuk penyaluran zakat fitrah, BAZNAS, Dompet Dhuafa, Rumah Yatim, Rumah Zakat dan NU Care-Lazisnu fitrah telah bekerja sama dengan Tokopedia. Sementara untuk zakat maal akan disalurkan melalui Rumah Yatim, Rumah Zakat. Begitu juga di aplikasi Bukalapak, juga memiliki fitur BukaZakat yang bisa digunakan untuk pembayaran zakat fitrah, zakat maal dan zakat profesi yang bisa disalurkan melalui Rumah Zakat, BAZNAS, dan Pusat Zakat Umat, Lazismu, NU CareLazisnu, Dompet Dhuafa. 

BAZNAS sendiri secara resmi telah meluncurkan aplikasi yaitu Muzaki Corner. Dalam aplikasi ini, pengguna dapat membayar zakat sesuai nominal yang diinginkan karena memiliki beraneka fitur yang ditawarkan sehingga para pengguna merasa nyaman, aman dalam berzakat, kemudian dapat memilih metode pembayaran via rekening dari beberapa bank dan e-wallet yang tersedia. 

Penggunaan aplikasi digital mampu memberikan kemudahan dalam pengelolaan zakat, khususnya pengumpulan atau pembayaran zakat, sehingga dapat mewujudkan realisasi zakat yang optimal. Dan dari pandangan hukum, transaksi fintech pada dasarnya adalah dibolehkan asal transaksi tersebut tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Fatwa DSN-MUI No. 116 /DSN-MUI / IX / 2017 tentang Uang Elektronik Syariah dan Fatwa DSN-MUI No.117 / DSN[1] MUI / IX / 2018 mengatur tentang layanan pendanaan teknologi informasi berdasarkan syariah. Fatwa ini berarti mendukung pengembangan pengumpulan dana zakat bagi Lembaga Amil Zakat berbasis fintech.

Upaya pengumpulan dana zakat, sebelum era digital, beberapa strategi pengumpulan zakat dilakukan dengan cara seperti pungutan langsung atau cash collection, memasang banner iklan di jalan, membagikan brosur, newsletter, stiker dan sejenisnya, mengirimi surat ajakan berzakat, membuat acara atau event yang bekerjasama dengan lembaga amil zakat dan bahkan secara langsung menelpon atau mendatangi para muzakki. Namun di era saat ini, upaya pengumpulan zakat dapat dilakukan secara online melalui platform digital.


Penyaluran ZIS dalam Mengentaskan Kemiskinan di Kalimantan Barat


Zakat sebagai tonggak penting dalam ketetapan Islam. Dalam pengertian etimologis, zakat memiliki arti an-namaa (berkembang), at-thaharatu (mensucikan) dan al-barakatu (berkah). Adapun dalam pengertian terminologis, zakat memiliki arti membelanjakan sebagian harta dengan syarat-syarat tertentu untuk diberikan kepada kelompok tertentu yang disebut mustahik (Hafidhuddin, 2002).

Sementara itu, al-Qardhawi (2002) mengungkapkan bahwa tujuan dasar ibadah zakat adalah penyelesaian berbagai macam masalah sosial ekonomi seperti kemiskinan, pengangguran, dan lain-lain. Sistem pendistribusian zakat menjadi solusi atas permasalahan tersebut dengan membagikan bantuan kepada kelompok kurang mampu tanpa memandang warna kulit, etnis, ras, dan atribut-atribut lainnya.

Pramanik (1993) beranggapan bahwa zakat berfungsi signifikan untuk menyalurkan pendapatan dan kekayaan di antara masyarakat muslim. Dalam studinya, Pramanik menyatakan zakat dalam konteks makro ekonomi, dapat dijadikan sebagai alat yang dapat memberikan stimulus dalam peningkatan, investasi, produksi, dan untuk bekerja. Sehingga zakat menjadi system transfer terbaik di masyarakat.

Begitu juga El-Din (1986) menganalisa fungsi stabilisator dan alokatif zakat bagi perekonomian. Beliau mengemukakan bahwa fungsi alokatif zakat diekspresikan sebagai alat untuk menyelesaikan masalah kemiskinan. Oleh karena itu, hendaknya dalam pola distribusi zakat tidak hanya dalam bentuk kebutuhan konsumsi saja namun bisa juga dalam bentuk kebutuhan produksi. Ini dijalankan ketika mustahik memiliki kemampuan dan kapasitas dalam melakukan aktivitas produksi.

Hubungan zakat dengan pengentasan kemiskinan, telah banyak studi yang menghubungkan di antara variable tersebut, baik secara secara empiris maupun konseptual. sebagai contoh, studi Qardhawi (2001), menekankan bahwa mengentaskan beragam persoalan masyarakat seperti kesenjangan pendapatan dan kemiskinan merupakan tujuan dari ibadah zakat. Dalam Al Quran menyebutkan asnaf fakir dan miskin sebagai dua kelompok pertama sebagai penerima zakat. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah zakat bertujuan untuk mengurangi angka kesenjangan pendapatan di antara kelompok kaya dengan kelompok miskin (Hafidhuddin, 2002). 

Secara empiris, di antara studi yang pernah dilaksanakan adalah studi dari Abdelbaki, 2013., Aisyah, 2014., Murniati & Beik, 2015., Muliadi & Amri, 2019., Amri, 2019., Afifudin & Sari, 2019., yang beberapa dari peneliti tersebut menemukan signifikansi dan eksistensi dana zakat perannya dalam menurunkan tingkat kemiskinan. Pada sisi lain, hasil studi empiris membuktikan bahwa ZIS memiliki kontribusi relatif kecil terhadap penurunan tingkat kemiskinan (Ali et al., 2015). Kemudian, ZIS dapat memperbaiki kondisi ekonomi penerima ZIS dan meningkatkan pendapatan, namun tidak signifikan berdampak pada pengurangan jumlah masyarakat miskin (Hoque et al., 2015; Redha et al., 2016). 

Penelitian Mubarokah et.al (2018) menjelaskan bahwa pendistribusian zakat kepada masyarakat miskin mampu memberikan dampak positif khususnya pada aspek spiritual mereka. Di sisi lain, juga mampu meningkatkan penghasilan mereka (Mubarokah, Beik, & Irawan, 2018). Perubahan spiritual yang terjadi merupakan efek dari pendistribusian zakat ke mereka yang berada dalam kondisi kurang mampu secara kultural. Sehingga membawa perubahan pada perilaku dan sikap mereka ke arah yang lebih baik dalam menghadapi kemiskinan yang dialami. Dampak dari meningkatnya pendapatan mereka merupakan implikasi dari zakat yang diterima oleh masyarakat kurang mampu secara struktural. Zakat yang didistribusikan, masyarakat mampu mengembangkan modal usaha, atau mengembangkan keahlian diri sebagai modal awal pengembangan diri dan usaha, yang sebelumnya terkendala dikarenakan masalah administrasi. Beberapa penelti terdahulu menemukan secara signifikan bahwa pendistribusian zakat dapat mensejahterakan penerima zakat (mustahik), sehingga mendukung program pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan (Haidir, 2019; Ayyubi & Saputri, 2018; Rini, Huda, Putra, & Mardoni, 2017). 

Namun, beberapa peneliti menghasilkan temuan bahwa dana ZIS belum mampu memperbaiki kesejahteraan masyarakat miskin. Indeks kemiskinan tidak berubah antara kondisi sebelum dan setelah memperoleh ZIS (Beik, I. S., & Tsabita, 2017). Pendistribusian dana ZIS kepada masyarakat miskin belum mampu secara agregat mengurangi jumlah penduduk miskin (Nurjanah et al., 2019). Dapat dikatakan secara umum, ZIS belum dampak signifikan atas perbaikan/peningkatan kesejahteraan masyarakat (Khasandy et al., 2019). Soekarni (2018) menemukan hasil yang sama jika distribusi zakat belum dapat meneka angka kemiskinan secara signifikan.

Hasil temuan penelitian di atas secara eksplisit memberikan informasi bahwa efek zakat dalam menurunkan kemiskinan masih menjadi kontroversi, karena distribusi dana zakat kepada kelompok miskin dikatakan mampu manaikkan pendapatan dan memperbaiki konsumsi mereka, namun disisi yang lain pendayagunaan dana zakat tersebut dikatakan secara umum belum mampu mengatasi masalah kemiskinan. 

Menanggulangi kemiskinan adalah salah satu priority dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Hal ini searah dengan komitmen pertama dari pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), yakni mengurangi kelaparan dan kemiskinan. Penyelesaian kemiskinan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah saja, namun menjadi tanggung jawab bersama seluruh masyarakat, termasuk masyarakat kurang mampu itu sendiri. 

Organisasi Pengelola Zakat merupakan salah satu lembaga yang memiliki kepedulian untuk membantu pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Melalui berbagai program dilaksanakan oleh OPZ agar mampu menaikkan kesejahteraan orang yang berhak menerima zakat (mustahik).

Dalam praktiknya, penyaluran zakat oleh OPZ dalam rangka mensejahterakan mustahik dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu baik secara produktif (zakat produktif) ataupun secara konsumtif (zakat konsumtif). Zakat konsumtif disalurkan untuk mencukupi kebutuhan dasar mustahik dan umumnya diberikan dalam bentuk beasiswa pendidikan, pelayanan kesehatan dan santunan fakir miskin, serta dibangun fasilitas umum dan sarana yang dibutuhkan masyarakat.

Sedangkan zakat produktif umumnya disalurkan dalam bentuk beasiswa pendidikan, pemberian pelatihan keterampilan, dan lain sebagainya. Sehingga melalui bekal keterampilan, kompetensi, hingga modal usaha, mustahik dapat lebih berdaya dan hidup secara mandiri ke depannya. 

Dua pola distribusi zakat tersebut, memiliki dampak dari masing-masing, seperti penyaluran zakat konsumtif mampu menjamin masyarakat miskin tidak kelaparan, penyakit yang diderita karena keterbatasan ekonomi, dan dampak lainnya yang mampu membuat masyarakat miskin bangkit. Hal ini tentu relevan dengan upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat, dilakukan dengan memenuhi kebutuhan hidup dasarnya. Masyarakat terselamatkan dari kelaparan dan penyakit yang diderita, kemudian mereka akan diberikan pendampingan atau asistensi untuk pemberdayaan mereka dalam peningkatan kesejahteraannya. Diharapkan dari pendampingan tersebut, masyarakat miskin dapat menghasilkan pendapatan mereka sendiri, bahkan mampu memperoleh pendapatan yang lebih besar, bukan hanya untuk dirinya, namun juga keluarga, dan orang lain di sekitarnya. Inilah target mengurangi angka kemiskinan dalam mekanisme zakat, dengan targetnya adalah adanya perubahan status penerima zakat (mustahik) menjadi pembayar zakat (muzakki). Sehingga diharapkan zakat konsumtif maupun zakat produktif mampu mengubah kehidupan mustahik menjadi lebih baik.

OPZ LAZISMU dan OPZ BAZNAS Kota dalam program mensejahterakan masyarakat lebih kepada program penyaluran ZIS yang bersifat konsumtif dibandingkan dengan penyaluran yang bersifat produktif. Program penyaluran ZIS LAZISMU tahun 2021 bersifat konsumtif sebesar 72,3%, dan nilai penyaluran ZIS bersifat produktif sebesar 27,7%. Begitu juga pada OPZ BAZNAS kota yang menunjukkan jika nilai penyaluran ZIS bersifat konsumtif sebesar 75% dan nilai nilai penyaluran ZIS bersifat produktif sebesar 25%. Hal ini dilakukan sesuai sebagai usaha dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat lewat zakat, dapat terlaksana dengan baik. Diawali dari pemenuhan kebutuhan hidup dasar, kemudian dilanjutkan dengan penguatan ekonomi masyarakat untuk bisa berdaya dan mandiri secara ekonomi.

Berikut peneliti uraikan data terkait dengan penerimaan ZIS, penyaluran ZIS, dan data kemiskinan Kalbar periode 2019 s.d 2021 sesuai dengan publikasi dari masing-masing OPZ dan BPS Provinsi Kalimantan Barat.

Pada lembaga Baznas Pontianak terjadi penurunan peneriamaan ZIS yang diikuti dengan penurunan penyaluran dan pendistribusian ZIS. Muzakki dan mustahik dari lembaga Baznas Kota Pontianak juga mengalami penurunan jumlah. Berbeda kondisi dengan lembaga Lazismu yang terlihat terjadi penurunan penerimaan ZIS yang diikuti dengan penurunan penyaluran ZIS di tahun 2020 dan terjadi peningkatan cukup signifikan sekitar 90% di tahun 2021 baik di sisi penerimaan maupun penyaluran ZIS. Dari segi jumlah muzakki dan mustahik, Lazismu mengalami peningkatan tiap tahun selama 3 tahun terakhir.

Kondisi kemiskinan di Kalimantan Barat dapat dilihat dari total masyarakat di bawah garis kemiskinan di Kalimantan Barat pada tabel di atas. Selama tiga tahun terakhir, tingkat kemiskinan mengalami penurunan di tahun 2020 dan kembali terjadi peningkatan sebesar 1,12% di tahun 2021. Hal ini dapat dimaklumi karena masa tersebut merupakan masa pemulihan ekonomi yang terjadi akibat pandemic covid-19. Jika dikaitkan dengan data kemiskinan, penulis dapat menyimpulkan bahwa penyaluran zakat belum dapat mengoptimalkan fungsinya dalam membantu pemerintah mengentaskan kemiskinan. Pernyataan ini dibuktikan dengan jumlah mustahik dan penduduk miskin yang terlampau jauh nilainya. Jika dipersentase, mustahik/penerima donasi hanya sekitar 7 persen dari total jiwa penduduk miskin Kalimantan Barat, namun setidaknya secara empiris distribusi zakat membuktikan mampu mengurangi tingkat keparahan kemiskinan tersebut. Harapan ke depannya zakat dapat menjadi solusi terbaik dalam mengentaskan jumlah kemiskinan, kesenjangan penghasilan, serta maksimal dalam mewujudkan tingkat kemakmuran (Mohd Ali et al., 2015).

Komentar

Postingan Populer